Peran Kiai KH Mahrus Aly Lirboyo dan Santrinya Syafi’i Sulaiman Dalam Kemerdekaan Bangsa Indonesia

news149 Views

 

KH Mahrus Aly bersurban putih dan KH Syafi’i Sulaiman ( Mantan Ketua PCNU Kabupaten Kediri) duduk berbaju putih ( Foto : dokomentasi IAI Tribakti Lirboyo Kediri)

Penulis : Imam Mubarok

Nukabkediri.or.id – Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri memiliki tiga tokoh besar dalam pergerakan pesantren dan kemerdekaan di Indonesia. Ketiganya dikenal dengan sebutan  3 Tokoh Lirboyo, yakni KH. Abdul Karim (pendiri Ponpes Lirboyo) , KH. Marzuqi Dahlan (menantu) dan KH. Mahrus Aly (menantu).

 

 

 

Ketigannya merupakan ulama tonggak sejarah berdiri dan berkembangnya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur yang dimulai pada 1910.

 

 

 

Dari ketigannya Merdeka.com akan mengulas  nama ulama yang terakhir yakni  KH. Mahrus Aly bin Ali bin Abdul Aziz, tokoh pejuang kemerdekaan hingga menjadi ulama yang yang sangat disergani karena perjuangannya oleh  presiden pertama RI , Ir. Soekarno.

 

 

 

Kisah ini disarikan  dari buku berjudul “Tiga Tokoh Lirboyo”, terbitan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

 

 

 

  1. Mahrus Aly lahir di Dusun Gedongan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH. Ali bin Abdul Aziz dan Nyai Hasinah binti Kyai Sa’id, pada tahun 1906 M.

 

 

 

Mahrus Aly  adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecilnya dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahirannya yakni di Cirebon . Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil.

 

 

 

Sehari-hari Mahrus Aly    menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Rusydi diasuh oleh ayahnya  sendiri, KH. Aly, dan sang kakak kandung, Kyai Afifi. Mahrus Aly  gemar menuntut ilmu terutama ilmu hadits dan ilmu nahwu sharaf.

 

 

 

Di usia remajanya, KH. Mahrus Aly telah hafal 1.000 bait nadzam kitab Alfiyah Ibnu Malik. Bahkan beliau pernah melakukan debat nahwu sharaf dengan seorang habib dari Yaman.

 

 

 

Suatu ketika kakaknya mengadakan lomba hafalan dan pemahaman kitab Alfiyah,  Mahrus Aly  kalah. Merasa malu dengan keluarganya,  akhirnya Mahrus Aly pergi meninggalkan rumah tanpa meminta izin kepada keluarganya, dan tentu saja membuat sedih sang ibundanya, Nyai Hasinah.

 

 

 

Maka sepanjang hari ibunya bermunajat kepada Allah agar anaknya yang meninggalkan rumah dan keluarganya dijadikan ulama yang alim.

 

 

 

Saat berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kyai Mukhlas, kakak iparnya sendiri.

 

 

 

Disinilah kegemaran belajar ilmu nahwu Mahrus Aly  semakin teruji dan mumpuni. Selain itu Mahrus Aly  juga belajar silat pada Kyai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal Gubug inilah Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.

 

 

 

Di tahun 1929 M, Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil.

 

 

 

Saat Mahrus Aly hendak menimba ilmu di sana, begitu memasuki gerbang pondok disambutlah ia oleh para santri yang telah berbaris. Bercampur heran Mahrus Aly tetap melangkah memasuki pondok.

 

 

 

Belakangan diketahui bahwa telah tersiar kabar bahwa di Pondok Kasingan akan kedatangan seorang ahli hadits bernama Mahrus Aly. Sambutan yang luar biasa dari para santri tidak membuat dirinya besar kepala.

 

 

 

Disamping menimba ilmu kepada sang kyai, beliau juga mengajar para santri. Maka tak heran bila Mahrus Aly diangkat menjadi Lurah Pondok. Hampir lima tahun menimba ilmu di Pondok Kasingan, kemudian Mahrus Aly minta izin kepada gurunya untuk pulang ke rumah.

 

 

 

Ketika sampai di rumahnya di Gedongan, Mahrus Aly lagi-lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya dengan penuh penghormatan. Para santri dibuatnya kagum dengan kecerdasan Mahrus Aly dalam memahami kitab Alfiyah. Rupanya Allah memberikan futuh (pembuka hati dan ilmu ) berkat doa, munajat dan riyadhah sang ‘ibu’, Nyai Hasinah, kepada dirinya.

 

 

 

 

 

Tak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Mahrus Aly meminta izin kepada ibunya untuk menimba ilmu di Pesantren Lirboyo di Kelurahan Lirboyo Kecamatan Mojoroto Kota Kediri . Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni Mahrus Aly berniat datang ke Ponpes Lirboyo untuk tabarukan. Namun beliau malah diangkat menjadi pengurus pondok dan ikut membantu mengajar.

 

 

 

“Saat di Ponpes Lirboyo tahun  1936 Mahrus Aly belajar di bawah asuhan KH. Abdul Karim atau biasa juga dipanggil Mbah Manab. Melihat kecerdasan yang dimiliki Mahrus Aly membuat gurunya terkagum-kagum dan jatuh hati pada Mahrus Aly,” kata Dr.KH Reza Ahmad Zahid, Lc.MA cucu KH Mahrus Aly.

 

 

 

Ditambahkan selama nyantri di Lirboyo, Mahrus Aly  dikenal sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan digunakan untuk tabarukan dan mengaji di pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang, asuhan Kyai Dalhar dan juga pondok pesantren di daerah lainnya seperti; Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sarang dan Lasem Rembang.

 

 

 

 

 

Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Namun karena alimnya kemudian KH. Abdul Karim menjodohkan dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938.

 

 

 

Setelah menikah  dan menjadi menantu Ponpes Lirboyo pada tahun 1944 M, KH. Abdul Karim mengutus Mahrus Aly untuk membangun rumah  di sebelah timur komplek pondok dan selanjutnya membantu mengajar di pesantren yang kini memiliki santri kurang lebih 38 ribu tersebut.

 

 

 

Tahun 1954,sang pendiri Ponpes Lirboyo  KH. Abdul Karim wafat.   KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan akhirnya meneruskan tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo.

 

 

 

Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly.  Bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada 30 April  1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Islam Tribakti (UIT) yang kemudian berubah menjadi IAIT (Institut Agama Islam Tribakti).

 

 

 

Bukti Sepak Terjang KH Mahrus Aly dalam Kemerdekaan Indonesia

 

 

 

 

 

Ponpes Lirboyo sendiri berdasarkan catatan, berdiri pada tahun 1910. Dalam perjalanan sejarahnya, Ponpes Lirboyo juga turut membantu pergerakan melawan penjajah kolonial Jepang dan Belanda.

 

 

 

Peran Pesantren Lirboyo dalam dunia pendidikan dan pergerakan perjuangan kemerdekaan menjdikan pesantren ini layak ditorehkan dalam catatan sejarah dengan tinta emas.

 

 

 

Tepatnya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan,  Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco PETA di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada KH Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.

 

 

 

Di Ponpes Lirboyo  diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini menjadi pertokoan Keris Galery Jl Brawijaya Kota ,red) yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

 

 

 

Pada malam hari, dengan peralatan seadanya, berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di bawah komando Kiai Mahrus Aly, Mayor Mahfudh, dan Raden Abdul Rakhim Pratalikrama bin Raden Wongsotaruno – Sumenep Madura (anggota BPUPKI)  .

 

 

 

Dalam peristiwa pelucutan senjata Jepang, KH Mahrus Aly menunjuk santri yang masih berusia 15 tahun . Ia bernama  Syafi’i Sulaiman , dalam perjalanan selanjutnya , Syafi’i tercatat menjadi  anggota DPR RI dan Ketua PCNU Kabupaten Kediri. Setelah didoakan khusus untuk menyusup ke markas Dai Nippon , Syafi’i  kemudian mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan tanpa diketahui oleh pasukan Jepang . Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii segera melapor kepada KH  Mahrus Aly dan Mayor Mahfudh.

 

 

 

Invasi para santri itu berhasil yakni mulai pukul 22.00 – 01.00 WIB. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar menjelang penyerahan Jepang atas Indonesia. Kemenangan penyerbuan itu  diiringi takbir “Allahu Akbar” yang mengumandang.

 

 

 

Setelah negoisasi, kemudian, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo ,” Termasuk samurai-samurai yang saat ini masih tersimpan di Ponpes Lirboyo,” Kata Dr.KH Reza Ahmad Zahid, Lc.MA, cucu KH Mahrus Aly pada merdeka.com

 

 

 

Peran Penting Saat Perang 10 November 1945

 

 

 

Ponpes Lirboyo  juga memiliki kisah perjuangan yang melegenda saat awal kemerdekaan. Pada medio September 1945 pasca kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945 disebutkan, tentara sekutu datang ke Indonesia dengan menggunakan nama tentara NICA

 

 

 

Hal itu lalu membuat para kiai NU yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari memanggil seluruh ulama di Jawa dan Madura membicarakan hal ini di kantor Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jalan Bubudan VI Nomor 2 Surabaya.

 

 

 

 

 

Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan Belanda dan kaki tangannya dengan hukum fardhu ‘ain.

 

 

 

Pasca pertemua itu di berbagai daerah, para anggota NU diakitifeer, bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.

 

 

 

 

 

Rupanya keputusan inilah yang menjadi motivasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk Pesantren Lirboyo.

 

 

 

Saat datangnya Jenderal AWS Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945 di Pelabuhan Tanjung Perak, stabilitas kemerdekaan mulai nampak terganggu terutama di daerah Surabaya.

 

 

 

 

 

Terbukti pada tanggal 28 Oktober 1945, para tentara sekutu ini mulai mencegat pemuda di Surabaya dan merampas mobil milik mereka. Puncaknya adalah mereka menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Hotel Yamato dengan bendera Belanda.

 

 

 

Selang beberapa lama, Mayor H. Mahfudz melapor kembali kepada KH. Mahrus Aly di Lirboyo bahwa tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan dan Surabaya banjir darah pejuang.

 

 

 

 

 

Maka KH. Mahrus Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Aly mengintruksikan kepada santri Lirboyo untuk berjihad kembali mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Hal ini disampaikan lewat santri yang berama Agus Suyuthi , kemudian dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

 

 

 

Dengan mengendarai truk, para santri di bawah komando KH. Mahrus Aly berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihad menghadapi musuh.

 

 

 

Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri. Peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain perang kemerdekaan  itu KH. Mahrus Aly juga juga peran besar dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri tahun 1965.

 

 

 

Nama-nama santri Lirboyo yang berangkat ke Surabaya, antara lain, Syafi’i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan Damiri. Keenam santri tersebut berasal dari Kediri. Selain itu, ada juga santri bernama Abu Na’im Mukhtar dari Salatiga, Khudhari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti Rembang, dan masih banyak lagi santri lainnya.

 

 

 

Pengiriman pertama ini berjumlah 97 santri. Setelah tiba di Surabaya, kemudian mereka bergabung dengan Laskar Hizbullah. Dalam perang tersebut, rombongan santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukan musuh. Semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat.

 

 

 

Keberhasilan ini tentu tak lepas pula dari restu dan doa KH Abdul Karim / Mbah Manab dan menantunya, KH Marzuki Dahlan. Keduanya bahkan selalu memberikan dukungan batin dan spiritual dari pesantren Lirboyo. Keduanya bahkan berdoa bukan hanya untuk santri Lirboyo, melainkan untuk para pejuang bangsa secara umum.

 

 

 

Peran KH Mahrus Aly Pasca Kemerdekaan

 

 

 

  1. Mahrus Aly juga mempunyai andil besar dalam perkembangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah NU Jawa Timur selama hampir 27 tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU hinga pada tahun 1985

 

 

 

 

 

  1. Mahrus Aly wafat setelah sebelumnya sang istri tercinta Nyai Hj. Zaenab binti Abdul Karim pada Senin 04 Maret 1985 M, berpulang ke rahmatullah karena sakit tumor kandungan yang telah lama diderita.

 

 

 

Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus-menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau. Namun dengan sopan beliau menolaknya.

 

 

 

Hingga puncaknya pada Sabtu sore tanggal 18 Mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu. Bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya, tepatnya pada hari Ahad malam Senin tanggal 06 Ramadhan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH. Mahrus Aly berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat di usia 78 tahun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KH Mahrus Aly, Kiai yang Sangat Dihormati Presiden Soekarno

 

 

 

Tidak banyak terungkap bukti hubungan dekat antara Presiden Soekarno dengan KH. Mahrus Aly, KH. Ahmad Shiddiq dan tokoh NU lainnya. Bukti kedekatan KH Mahrus Aly dengan Presiden Soekarno adalah koleksi foto Ponpes Lirboyo yang didapatkan dari KH. Dimyathi Raisd di  Kendal Kaliwungu Jawa Tengah

 

 

 

Gus Ibrahim atau biasa dipanggil Gus Bram yang merupakan cucu keturunan KH Abdul Karim mengungkapkan hal tersebut kepada merdeka.com

 

 

 

“Presiden Soekarno mengetahui betul jasa KH  Mahrus Aly  dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan terutama di perang 10 November di Surabaya. Soekarno tahu peran KH Mahrus Aly  memimpin Batalyon Gelatik yang menjadi embrio Kodam Brawijaya sekarang,” kata Gus Bram

 

 

 

KH Mahrus Aly Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional

 

 

 

Bebeberapa waktu lalu Yayasan Institut Agama Islam Tribakti (IAI) Tribakti yang dipimpin KH Atho’ilah Anwar Mansyur bersama tim menghadap Walikota Kediri , Abdullah Abu Bakar.

 

 

 

Yakni mengusulkan agar KH Mahrus Aly diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena peran perjuangan yang telah dilakukannya di perang kemerdekaan.

 

 

 

“Kami sangat mendukung jika KH Mahrus Aly diusulkan menjadi pahlawan nasional dan akan kita kawal . Karena semua tahu bagaimana peran KH Mahrus Aly dalam pergerakan perjuangan dan pengembangan pendidikan di pesantren dan perguruan tinggi pertama kali di Kediri,” kata Abdullah Abu Bakar, Walikota Kediri pada merdeka.com (***)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *