Kehidupan Rumah Tangga Putri Nabi SAW Pun Tak Berberda Dengan Kehidupan Rumah Tangga Kabanyakan Wanita Lainnya.

PCNU164 Views
ILUSTRASI – SUMBER Sumber foto warudesa.id ( FOTO TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN ISI BERITA)

NUkabkediri.or.id – Sebagaimana diketahui, dalam sejarah hidupnya, Nabi Muhammad SAW mulai mengarungi bahtera rumah tangga ketika usia beliau menginjak 25 tahun. Ketika itu beliau menikah dengan Khadijah binti Khuwailid yang merupakan isteri satu-satunya sampai Khadijah wafat ketika mereka telah hidup bersama selama sekitar 23 tahun. Setelah wafatnya isteri pertamanya tersebut, Nabi menikah lagi dan melakukan poligami sampai beberapa orang isteri.

Dari beberapa orang isteri yang dinikahinya, Nabi hanya memiliki 3 orang putra dan 4 orang putri dari isteri pertamanya dan seorang putra dari wanita Sariyah (Ummu Walad) yang dimilikinya, yakni Mariyah Al Qibthiyah. Ada pendapat pula yang mengatakan, Mariyah ini juga termasuk isteri beliau.

Ketiga putra Nabi yakni Qasim, Abdullah dari Khadijah r.a. dan Ibrahim dari Mariyah r.a, wafat ketika mereka masih kecil, sedangkan putri-Putri beliau, hidup hingga dewasa sampai mereka masing-masing memiliki suami, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra r.a. Namun ketiga putri beliau selain Fatimah, wafat ketika Nabi masih hidup, dan hanya Fatimah, putri bungsu beliau yang wafat sesudah wafat beliau.

Dalam suatu riwayat, ketika masih lajang, Fatimah,  pernah dilamar oleh Abu Bakar r.a. namun Nabi saw tidak berkenan lalu menolaknya dengan halus. Setelah itu, Umar bin Al Khathab juga pernah melamarnya, tetapi Nabi juga menolaknya dengan halus, demikian pula beberapa sahabat lainnya juga pernah melamar Fatimah tetapi semuanya tak ada yang diterima oleh Nabi, sampai kemudian ketika Ali bin Abi Thalib melamar Fatimah, Nabi menerimanya. Maka pada tahun ke dua Hijriyah, mereka pun menikah. Ketika itu Fatimah berusia sekitar 19 tahun sedangkan Ali bin Abi Thalib sekitar 25 tahun.

Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang berharta, demikian pula keluarga Nabi, senantiasa hidup bersahaja. Diwaktu menikahi Fatimah, Ali tak memiliki harta kecuali baju besi perang seharga 4 Dirham. Maka baju perang itulah yang dijadikan mahar pernikahannya dengan putri Nabi itu. Ali sendiri mengaku ketika telah menikah dengan Fatimah, ia hanya mempunyai alas untuk tidur bersama isterinya yg berupa kulit kambing.

Dari pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah melahirkan beberapa putra putri, yaitu Hasan, Husain, Zainab dan Ummi Kultsum r.a.

Ketika mengarungi hidup berumah tangga dengan sepupu ayahnya itu, seperti halnya wanita-wanita lain pada umumnya,  Fatimah menjadi sibuk mengurus rumah tangga. Sebagai keluarga yang sederhana perekonomiannya, sebagaimana diceritakan oleh As Suyuti, putri Nabi ini menangani sendiri berbagai pekerjaan rumah seperti mengambil air, sampai wadah air yang biasa dibawanya membekas di dadanya, menyapu, sampai bajunya berdebu (pada masa itu, lantai rumah berupa tanah) dan juga menggiling gandum yang menjadi makanan pokok bangsa Arab. Dari pernikahannya dengan putra Abu Thalib, Fatimah mempunyai beberapa putra putri, yaitu Hasan, Husain, Zainab dan Umi Kultsum.

Pernah suatu ketika Fatimah memberanikan diri meminta budak untuk pembantunya kepada ayahandanya. Namun beliau mengatakan bhw budak-budak yang dimiliki beliau itu dijual guna untuk membiayai makan para sahabat penghuni “Shuffah”, yakni para sahabat yang tinggal di ruang pojok Masjid Nabawi.

Seperti diketahui, ketika Nabi telah hijrah ke Madinah dan mendirikan Masjid Nabawi, maka beliau kemudian membuat ruang dipojok masjidnya itu untuk tempat tinggal para sahabat yang hijrah dari Mekkah ke Madinah bersama beliau, yang di kota ini, mereka tak punya keluarga dan tak mampu membuat rumah, bahkan banyak dari penghuni Sufah ini yang tidak mampu mencukupi kebutuhan makan mereka sehari-hari, sehingga Nabi sering kali memberi makan kepada mereka.

Diceritakan dari berbagai riwayat, Nabi saw pernah menjenguk putri beliau, Fatimah Az Zahra r.a. yang pada waktu itu kebetulan sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis. Ketika Nabi bertanya mengapa ia menangis, putri kesayangan beliau itu menjawab bahwa ia menangis hanya karena batu penggiling itu. Ia menangisi kesibukan sehari-harinya yang silih berganti.

Nabi kemudian mengambil tempat duduk disisi putrinya itu. Fatimah berkata lagi kepada ayahandanya agar beliau memintakan kepada Ali,

supaya suaminya itu membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaannya membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.

Setelah mendengar perkataan putrinya, Nabi saw kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji gandum lalu dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca Basmalah, maka berputarlah alat penggilingan itu atas izin Allah. Beliau lalu memasukkan biji-biji itu ke dalam penggilingan, sementara alat penggilingan terus berputar sendiri sambil bibir beliau memuji-muji Allah swt. Gilingan itu terus saja berjalan sampai biji-bijian itu habis.

Gilingan tsb. baru berhenti setelah baliau berkata kepada benda itu: “Berhentilah atas izin Allah”. Namun tiba-tiba batu itu bisa berbicara: “Ya Rasulallah, demi Dzat yang Maha mengutusmu, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada diseluruh jagad timur dan barat, pastilah akan kugiling semuanya”.

Nabi saw kemudian nersabda: “Hai batu, bergembiralah kamu. Sesungguhnya kamu termasuk batu yg kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fatimah di Surga”.

Seketika itu, batu penggiling bergembira dan diam  Nabi lalu bersabda kepada putrinya: “Kalau Allah berkehendak, hai Fatimah, pasti batu penggiling ini akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukanmu serta mengangkat derajatmu”.

Cerita putri Nabi saw diatas menggambarkan bahwa bagi seorang ibu rumah tangga, menjalani rutinitas rumah tangga memang bukanlah hal yg ringan. Membagi perhatian untuk keluarga sampai mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, memang seakan tiada habisnya. Begitupun hal yang dialami oleh seorang Fatimah Az Zahra yang statusnya adalah putri Nabi. Dari tangannya sendiri ia menggiling gandum. Bahkan tak jarang pekerjaan ini tetap dilakukannya sambil menggendong anaknya yg menangis.

Belajar dari para ibu kaum mukminin seperti Fatimah, Siti Hajar isteri Nabi Ibrahim, Asma binti Abu Bakar r.a. dan lain-lain, bisa menjadi penyemangat bahwa perjuangan seorang ibu tidaklah akan sia-sia. Menjadi ibu rumah tangga memang memerlukan kekuatan fisik yang prima. Melakukan aktivitas sejak bangun tidur sampai tidur lagi.

Itulah antara lain satu alasan mengapa seororang ibu harus mendapat kebaktian dari putra-putrinya lebih dari kebaktian yg mereka berikan kepada ayah mereka.

Dalam suatu kesempatan ketika Nabi saw pernah ditanya oleh sahabat Mu’awiyah bin Haidah r.a: “Kepada siapakah pertama kali aku harus berbuat baik dan berbakti ? Maka Nabi menjawab: Ibumu !  Sahabat tersebut bertanya kembali: Kemudian siapa lagi ? Beliau menjawab: Ibumu ! Lalu sahabat itu bertanya lagi : Lalu siapa lagi ? Nabi saw menjawab: Ibumu ! Orang itu bertanya kembali: Kemudian siapa lagi ? Nabi menjawab: “Kemudian ayahmu !” (HR Bukhari dari Abi Hurairah r.a.).

Nabi menyebutkan kata “ibu” sebanyak tiga kali, kemudian setelah itu baru menyebutkan kata “ayah”, bukan berarti beliau memperkecil hak baktinya anak terhadap ayahnya, tetapi beliau memperbesar bakti seorang anak kepada ibunya lebih dari baktinya kepada ayahnya, lantaran karena kesulitan seorang ibu ketika melahirkan, menyusui dan merawat keluarga khususnya anak-anaknya itu yg dilakukan dan dikerjakan oleh ibunya.

 

Penulis:KH Bushro Karim Abd Mughni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *