NUkabkediri.or.id – Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Kediri tingkatkan pemahaman sejarah kemerdekaan Indonesia dengan kongkow ala santri bedah Fatwa Resolusi Jihad di Aula PCNU Kabupaten Kediri pada Ahad, (10/10)
Budayawan , Imam Mubarok selaku pemateri menyampaikan materi bahwa pemuda harus faham terkait sejarah berdirinya bangsa Indonesia seperti terkait tanggal 17 Agustus 1945 merupakan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan Republik Indonesia “Tanggal 17 belom terbentuk Republik, 18 baru dibentuk” ungkapnya
Gus barok sapaanya menyayangkan kemunduran teknologi di Nusantara saat ini. Seperti saat masa kerajaan Majapahit memiliki meriam yang bernama Cetbang , panjangnya 60 cm hingga 3 meter.
“Pabriknya Cetbang di Tuban dan misiunya di Lamongan. Majapahit ketika itu ditakuti oleh musuh. Namun saat awal kemerdekaan pertempuran hanya menggunakan bambu runcing saja dan menang melawan sekutu.
“Ini menandakan para ulama dan para santri itu lebih mengandalkan kekuatan dan pertolongan dari Allah. Meski mengalami kemunduran dalam hal tekhnologi, namun bambu runcing, tasbeh bahkan bakiah bisa melebihi kekuatan meriam sejenis cetbang,” kata Gus Barok, yang juga Wakil Ketua Lesbumi PWNU Jawa Timur ini.
Selain itu Gus Barok juga mengingatkan peran penting ulama dan santri di Kediri yang ambil peran penting pada sebelum dan sesudah Fatwa Resolusi Jihad.
Sepak Terjang Mahrus Aly dalam Kemerdekaan Indonesia
Ponpes Lirboyo berdiri pada tahun 1910. Dalam perjalanan sejarahnya, Ponpes Lirboyo juga turut membantu pergerakan melawan penjajah kolonial Jepang dan Belanda.
Peran Pesantren Lirboyo dalam dunia pendidikan dan pergerakan perjuangan kemerdekaan menjadikan pesantren ini layak ditorehkan dalam catatan sejarah dengan tinta emas.
Tepatnya tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco PETA di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.
Di Ponpes Lirboyo diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini menjadi pertokoan Keris Galery Jl Brawijaya Kota) yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.
Pada malam hari, dengan peralatan seadanya, berangkatlah 440 santri mengadakan penyerbuan di bawah komando Mahrus Aly, Mahfud, dan Raden Abdul Rakhim Pratalikrama bin Raden Wongsotaruno–Sumenep Madura (anggota BPUPKI).
Dalam peristiwa pelucutan senjata Jepang, Mahrus Aly menunjuk santri yang masih berusia 15 tahun bernama Syafi’i Sulaiman untuk menyusup ke markas Dai Nippon. Syafi’i kemudian mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan tanpa diketahui oleh pasukan Jepang. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafi’i segera melapor kepada Mahrus Aly dan Mahfud.
Dalam perjalanan selanjutnya, Syafi”i tercatat menjadi anggota DPR dan Ketua PCNU Kabupaten Kediri.
Invasi para santri itu berhasil yakni mulai pukul 22.00–01.00 WIB, ketika Mahfud menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar menjelang penyerahan Jepang atas Indonesia. Kemenangan penyerbuan itu diiringi takbir ‘Allahu Akbar’ yang mengumandang.
Ponpes Lirboyo juga memiliki kisah perjuangan yang melegenda saat awal kemerdekaan. Pada medio September 1945, pasca kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945 disebutkan, tentara sekutu datang ke Indonesia dengan menggunakan nama tentara NICA.
“Hal itu lalu membuat para kiai NU yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari memanggil seluruh ulama di Jawa dan Madura membicarakan hal ini di kantor Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jalan Bubudan VI Nomor 2 Surabaya,” tambah Gus Barok, yang juga jurnalis di www.merdeka.com dan dosen Fakultas Dakwah IAI Tribakti Lirboyo Kediri.
Dalam pertemuan itu, para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan Belanda dan kaki tangannya dengan hukum fardhu ‘ain.
Pasca pertemuan itu, di berbagai daerah para anggota NU bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.
Rupanya keputusan inilah yang menjadi motivasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk Pesantren Lirboyo.
Saat datangnya Jenderal AWS Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945 di Pelabuhan Tanjung Perak, stabilitas kemerdekaan mulai nampak terganggu terutama di daerah Surabaya.
Terbukti pada tanggal 28 Oktober 1945, para tentara sekutu ini mulai mencegat pemuda di Surabaya dan merampas mobil milik mereka. Puncaknya adalah mereka menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Hotel Yamato dengan bendera Belanda.
Selang beberapa lama, Mahfud melapor kembali kepada Mahrus Aly di Lirboyo bahwa tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan, dan Surabaya banjir darah pejuang.
Maka Mahrus Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian Mahrus Aly mengintruksikan kepada santri Lirboyo untuk berjihad kembali mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Hal ini disampaikan lewat santri yang berama Agus Suyuthi, kemudian dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.
Dengan mengendarai truk, para santri di bawah komando Mahrus Aly berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihad menghadapi musuh.
Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri. Peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya.
Nama-nama santri Lirboyo yang berangkat ke Surabaya, antara lain, Syafi’i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan Damiri. Keenam santri tersebut berasal dari Kediri. Selain itu, ada juga santri bernama Abu Na’im Mukhtar dari Salatiga, Khudhari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti Rembang, dan masih banyak lagi santri lainnya.
Pengiriman pertama ini berjumlah 97 santri. Setelah tiba di Surabaya, kemudian mereka bergabung dengan Laskar Hizbullah. Dalam perang tersebut, rombongan santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukan musuh. Semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat. Keberhasilan ini tentu tidak lepas pula dari restu dan doa para ulama.
Abu Muslih selaku narasumber kedua menjelaskan didalam diskusi tokoh sejarah tercatat bahwa
Jawa kuno memiliki agama sendiri, namun tersamarkan dengan agama pendatang dari asing seperti Hindu dan Budha.
”Memang kita memiliki kerajaan hindu namun pemilik agama hindu hanya dari kerajaan dan aparatnya kemudian rakyanya memgikuti agama kapitayan. Dengan bukti ada punden-punden orng yang babat desa dimaqomkan disitu.”
Didik Santoso selaku penanggungjawab assesor Ansor Kabupaten Kediri menyampaikan jika kegiatan sekarang merupakan launching digital terkait form evaluasi kegiatan yang dilakukan ANSOR di Pimpinan Anak Cabang (PAC) dan nanti akan disampaikan secara menyeluru kepada Pimpinan Ranting (PR) oleh PAC masing-masing.
“Sekarang launcing pendataan mengisi form digital anak cabang dan anak ranting, nanti secara lengkap akan disampaikan dengan turba”
Didik sapaanya menjabarkan jika program ini tidak sekedar evaluasi dari pengurus PAC hingga Ranting tetapi juga akan menghasilkan produk berupa kartu anggota ANSOR dengan mengganti administrasi pencetakan dengan biaya 10.000 saja. “Wujudnya akan menjadi kartu anggota Ansor”imbuhnya
Rizmi Haitami Azizi selaku ketua PC GP Ansor Kab Kediri menyerukan kepada seluruh delegasi pengurus PAC ANSOR se Kabupaten Kediri agar mensifati sikap santri dengan memperjuangkan dan mendakwahkan Nahdlatul Ulama serta mengabdi kepada kiai.
“Yakni dengan menjadi santri mbah Hasyim Asy’ari dan meneladani serta mengikuti jejak yang pernah beliau lakukan ,”tegasnya. (***)
Penulis : Abdullah | Imam Mubarok
Editor : Imam Mubarok