Pemerintahan Nabi Tekankan Persatuan

(Oleh KH Busyro Karim, Rois Syuriyah PCNU Kab Kediri)

 

nukabkediri.or.id – Ketika Muhammad di Mekkah yempat kelahirannya diangkat sebagai Rasul oleh Allah swt, mula-mula beliau mengajarkan Islam secara sembunyi-sembunyi-sembunyi. Baru beberapa tahun kemudian, beliau menyiarkan agama yang dibawanya secara terang-terangan yang kemudian berakibat terjadinya permusuhan dan penganiayaan oleh kaum quraisy Mekkah terhadap beliau dan pengikutnya. Karena tindakan permusuhan dan penganiayaan semakin memuncak, maka akhirnya pada tahun ke 13 dari kenabian, Nabi bersama para sahabatnya yang jumlahnya masih sangat sedikit itu hijrah ke kota Yatsrib yang kelak berganti nama menjadi Madinah.

Awal mula perpindahan Nabi ke kekota ini, diawali oleh peristiwa yang tampak sederhana, yakni perjumpaan Nabi dengan 12 orang dari Yatsrib di “Aqabah”, kawasan “Mina” Mekkah pada tahun ke 12 sesudah kenabian yang menyatakan bahwa mereka masuk Islam. Pada tahun berikutnya, 73 penduduk Yatsrib yang sudah memeluk Islam juga berkunjung ke tempat yang sama. Mereka melakukan Bai’at yang dikenal dengan Bai’at kedua yang mengikrarkan lagi keislaman mereka, sekaligus menyatakan, akan membela Nabi sebagaimana membela isteri dan anak mereka. Mereka juga mengundang Nabi untuk Hijrah ke Yatsrib.

Setelah merasa yakin dengan kondisi kehidupan para sahabatnya di Yatsrib, Nabi kemudian Hijrah kekota ini bersama para sahabatnya dari penduduk Mekkah.

Kota Yatsrib yang kemudian diganti nama oleh Nabi dengan “Madinah”, terdiri dari berbagai suku. Ketika itu, suku Aws dan Khazraj menduduki posisi terpandang dan berpengaruh. Bergabungnya Nabi dengan mereka semakin memperkuat posisi mereka di Madinah.

Dikota ini, Nabi saw memasuki sebuah kancah kehidupan baru yang belum pernah dijalani oleh kebanyakan para Rasul sebelumnya yaitu kancah politik yang menghantarkan beliau keposisi puncak. Obsesi beliau yang paling utama adalah menghantarkan  negara Madinah pada terwujudnya integritas sistem politik yang belum pernah terjadi diseluruh kawasan tanah “Hijaz”.  Meskipun negara yang baru berdiri ini didasarkan atas prinsip-prinsip keagamaan, namun kenyataannya, negara Nabi ini menetapkan dua prinsip, yakni: Kebebasan beragama dan negara memberikan jaminan kepada semua pemeluk agama yang ada dinegara itu, yakni Islam, Yahudi dan Nasrani melalui Shahifah/Konstitusi Madinah yang terdiri dari 47 Pasal. Dokumen ini dibuat juga guna mengakhiri konflik antar kabilah terutama antar suku Aws dan Khazraj yang sebelum itu senantiasa dilanda pertikaian. Konstitusi/Piagam ini menyatakan sejumlah hak dan tanggungjawab bagi Yahudi, Kristen dan komunitas lainnya dan menyatukan mereka kedalam satu komunitas yang bernama Ummah, sehingga tugas yang dijalankan oleh Nabi saw adalah mengupayakan terciptanya komunitas Yatsrib yang bersatu padu. Hanya saja beberapa kelompok Yahudi kemudian melakukan pelanggaran atas Piagam yang telah disepakati itu dengan melakukan kegaduhan bahkan sampai hendak membunuh Nabi, sehingga mereka yang melakukan pelanggaran itu diusir dari negeri yang belum lama dibentuk itu.

Nabi juga meleburkan kedua kelompok suku Auws dan Khazraj dengan satu nama yaitu: “Al Anshar” (sahabat Anshar). Kemudian beliau menjalin ukhuwah/persaudaraan antara mereka dengan orang-orang pengikut Nabi dari Makkah yang disebut “Al Muhajirin”(sahabat Muhajirin). Begitu lekatnya persaudaraan yang ditekankan oleh Nabi, sampai-sampai ada seorang dari sahabat Anshar kepada tamannya dari golongan Muhajirin yang tidak mempunyaii isteri dan harta, menawarkan separo hartannya kepada temannya itu, sekaligus menawarkan salah satu dari kedua isterinya untuk dinikahinya.

Namun si teman itu menolaknya dan memilih untuk bekerja sendiri berdagang sesuai dengan profesinya ketika dulu ia berada di Mekkah.

Ditengah-tengah kaum muslimin, Nabi saw adalah seorang Nabi, Rasul, pembuat aturan hukum, pemegang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, Panglima tertinggi dan Kepala administrasi pemerintahan yang mengatur tata hubungan sosial dan menetapkan aturan-aturan hukum yang digali dari Al Quran. Beliau juga mengatur dan memegang kendali Angkatan bersenjata. Politik yang dijalankan Nabi menjadi salah satu faktor mulusnya penyebaran Islam.

Meski memegang kekuasaan begitu besar lantaran menggenggam kekuasaan secara sentralistik, namun Nabi bukannya figur pimpinan diktator yang dapat bertindak sewenang-wenang. Sebab dalam Islam seorang kepala negara tidak harus memegang sendiri berbagai jabatan penting yang ada didalam pemerintahan. Nabi sebagai kepala negara memegang sendiri berbagai jabatan penting diatas selain krn ketika itu negara Madinah masih tergolong kecil, juga krn Madinah saat itu adalah negara yang sedang dalam proses peletakan dasar, dan beliau berjalan diatas sebuah konstitusi dari wahyu yaitu Al Quran.

Didalam kandungan kitab suci ini diketahui, justru Islam itu menekankan sistem musyawarah dan menekankan keadilan terhadap umat dengan seadil-adilnya, sbagaimana yang secara langsung di praktekkan sendiri oleh beliau. Karena itulah dimasa sepeninggal Nabi ketika Islam sudah semakin meluas dan Al Quran telah diturunkan secara tuntas, maka beberapa lembaga negara dimasa sedudah Nabi tidak lagi berada hanya pada satu orang yang memegang kekuasaan.

Di Madinah, Nabi menjadikan masjid sebagai sentral dalam menjalankan roda pemeritahannya.

Masjid Nabawi digunakan sebagai tempat untuk sidang-sidang penting yang membahas masalah negara, menulis surat-surat untuk para kepala negara asing atau kepala suku dan surat instruksi lainnya, menerima para duta negara asing sekalipun bukan orang Islam. Di masjid itu, Nabi saw pernah

menerima pula delegasi Najran yang beragama Keisten.

Pada masa Nabi saw, semua orang Islam adalah tentara. Sedangkan devisa negara diperoleh dari uang pajak dari orang-orang non muslim dan zakat dari kaum muslim. Orang-orang non muslim dikenai keharusan membayar pajak sedangkan kaum muslim tidak dikenai pajak, tetapi berkewajiban membayar zakat, baik zakat Fitrah maupun zakat hasil bumi dan perdagangan, yang tidak jarang, nilai nominal harta zakat yang dikeluarkan seorang muslim lebih besar daripada nilai nominal pajak yang dikeluarkan seorang non muslim.

Prisnsip negara Nabi adalah negara konstitusional, bukan negara otokrasi dan bukan oligarkhi. Kedaulatan negara, ada ditangan rakyat yang pada masa sepeninggal Nabi dipresentasikan melalui Ahlul halli wal aqdi. Memang dimasa Khulafaur Rasyidin, dalam pengangkatan Khalifah kedua: Umar bin Khathab r.a, hanya barasal dari penunjukan Abu Bakar r.a, ketika khalifah pertana ini sedang sakit. Tetapi itu sudah melalui proses musyawarah sebelumnya oleh Abu Bakar dengan beberapa sahabat lainnya.

Dalam menjalankan pemerintahan, sebagaimana dituturkan oleh sejarawan Abdul Malik bin Hisyam dalam kitabnya “As Sirah An Nabawiyyah”, Nabi saw mengangkat beberapa pegawai administrasi yang dibebani tugas-tugas tertentu. Jumlah mereka berkisar 42 orang. Diantaranya ialah Usman bin Affan, bertugas mencatat wahyu, Zubair bib Al Awam dan Juhaim bin Shalt bertugas mencatat zakat, Mughirah bin Syu’bah dan Hushain bin Numair mencatat kontrak keperdataan, Hudzaifah bin Al Yaman mencatat perkiraan produksi kurma, Abdullah bin Al Arqam dan Al Alla’ bin Utbah mencatat data suku-suku, Zaid bin Tsabit sebagai pembuat draft surat-surat yang akan dikirim Nabi kepada kepala nega asing, sekaligus dia menjadi penerjemah Nabi untuk bahasa Persia, Romawi, Ibrani dan dan lainnya yang sebelumnya memang telah diperintah Nabi untuk mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Sedangkan Syurahbil bin Hasnah mengurusi penandatanganan surat-surat itu. Tugas Zaid binbTsabit kadang digantikan oleh Abdullah bin Arqam, Ali bin Abi Thalib sebagai notulis dalam perjanjian-perjanjian damai. Pencatatan devisa negara dari harta rampasan dijalankan oleh Mu’aiqib bin Abi Fathiimah. Handzalah bin Al Rabi’ yang dikenal dengan sebutan Al Katib adalah petugas yang memegang stempel. Ia bertugas membubuhkan stempel surat-surat. Dia ini menjadi pengganti semua pegawai administrasi yang berhalangan.

Sebagaimana lazimnya sebuah negara,  negara Nabi memiliki ibu kota negara dan membawahi sejumlah wilayah, yakni: Madinah  sebagai ibu kota negara, Taima Al Jundi, wilayah Bani Kandah, Najran, Yaman, Hadramaut, Amman, Bahrain dan bahkan Mekkah sendiri yang belakangan juga masuk dibawah negera Madinah ini yang ditaklukkan Nabi secara damai pada tahun 8 H. Setiap wilayah dari semuanya itu, dipimpin oleh kepala wilayah.

Dari penuturan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi saw telah mendirikan negara dan meletakkan prinsip umum untuk konstruksi yang kokoh bagi komunitas manusia dimana saja. Petunjuk yang diberikan Nabi dalam membangun sebuah negara, seperti halnya dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, kebanyakan bersifat global, yaitu prinsip yang seharusnya ada dalam negara. Sedangkan hal-hal yang partikular akan terus berkembang dan mengalami perubahan. Inilah salah satu keistimewaan syari’at Islam. Ia memberikan prinsip-prinsip yang jelas menuju pada kebenaran, kebajikan dan keadilan tanpa menutup pintu dinamika berpikir.

Syariat Islam selain menjadi penuntun manusia dalam persoalan ibadah, juga dimaksudkan menjadi penuntun manusia dalam membangun sistem kehidupan sosial. Dan yang tidak kalang pentingnya, persatuan dan kesatuan menjadi obsesi agama yang dibawa Nabi akhir zaman ini. (sumber – gup telegram Refleksi ke-NU an oleh KH. Busyrol Karim Abdul Mughni Rois Syuriah PCNU Kabupaten Kediri ) – Https://t.me/refleksikenuan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *