NUkabkediri.or.id – Sebagaimana diketahui, dalam Islam, ada tiga ajaran pokok yang mesti diamalkan oleh para pemeluknya,
Yaitu: 1. Tauhid, yakni ajaran tentang apa yang harus diimani dan di yaqini mengenai Allah, Rasul dan lain lain- lainnya.
- Syari’ah, yaitu ajaran yang melingkupi urusan ibadah kepada Allah dan Muamalah atau urusan antar sesama manusia.
- Tasawuf, yakni ajaran bagaimana menyucikan jiwa dan memperbaiki akhlak, baik kepada Allah, maupun kepada sesama manusia.
Tasawuf yang sering disebut dengan mistik (bukan mistik Jawa) yang terkait dengan urusan batin (bukan Kebatinan), intinya adalah suatu upaya pendekatan kepada Allah SWT yang bergerak dlm lingkup rasa dan hati. Kejernihan batin atau hati inilah yang sering diidentikkan dengan istilah Tasawuf yang pelakunya disebut “Sufi”.
Pada zaman Nabi dan sahabat, tak pernah ada penyebutan “Tasawuf”. Pelaku ajaran Tasawuf metika itu
lebih dikenal dengan sebutan “Abid” (orang yang tekun beribadah) dan “Zahid” (orang yang menjauhi kemewahan dunia). Namun sebenarnya, sejarah munculnya
ajaran Tasawuf, sebagaimana ajaran Tauhid dan Syari’ah, telah muncul bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri yang disampaikan oleh Nabi saw kepada umatnya melalui Wahyu, Al Quran, Sabda dan perilaku beliau.
Kondisi kehidupan Nabi saw yang sangat bersahaja, sikap lemah lembut beliau terhadap siapa pun baik terhadap para sahabat maupun orang-orang yang memusuhi beliau yang selalu berkaitan dan
ketahanan mental menghadapi bermacam-macam godaan, adalah juga merupakan bagian dari ajaran Tasawuf ini.
Dlm perkembangannya, didalam Tasawuf terdapat ajaran Tasawuf “Falsafi”, yaitu Tasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan visi rasional yang merupakan hasil dari pemikiran para tokoh-tokohnya seperti Husain bin Mansur Al Hallaj (w. 309 H), Muhyiddin Ibnu Arabi (638 H) dll. yang diungkapkan dengan bahasa filosofis.
Diantara ajaran-ajaran Tasawuf falsai ini adalah “Ittihad” yakni rasa menyatunya manusia dengan Tuhan, dan “Hulul” yaitu bersemayamnya sifat-sifat Allah kedalam diri manusia. Namun Tasawuf ini tdk bisa dikatakan sbg Tasawuf yang murni, karena telah menggunakan pendekatan rasio.
Pengamal ajaran Tasawuf disebut “Sufi” tdk berarti orang-orang berbudi luhur itu mesti “sufi” sebagaimana orang yang tekun beribadah belum tentu pula dia itu “sufi”, tetapi seorang sufi berarti ia berbudi luhur dan tekun beribadah dengan penuh keikhlasan.
Berkaitan dengan hal ini, Rabi’ah Al ‘Adawiyah (w. 180 H), seorang sufi wanita terkenal di zamannya mengatakan: “Ibadah dan kezuhudan mereka yang bukan sufi itu umumnya bertujuan memperoleh pahala di akhirat. Sikap tsb. seperti transaksi kerja utk membeli surga dengan ibadah dan kezuhudannya, seperti para pekerja yang siap bekerja seharian karena ingin memperoleh upah di sore harinya, yang fokusnya adalah upah. Sedangkan ibadah dan kezuhudan para Sufi, menitik beratkan pada kelanggengan bubungan komunikatif dengan Allah SWT. Mereka menyembah Allah karena Dia seharusnya disembah dan hal itu merupakan kehormatan bagi mereka, bukan karena dorongan suatu pamrih atau rasa takut hukuman”.
Itu sebabnya, dlm sebuah munajatnya, Rabi’ah mengatakan: “Ya Allah Tuhanlu ! Apabila aku menyembahMu cuma karena takut kepadaMu, maka lemparkanlah aku kedalam nerakaMu. Dan apabila aku menyembahMu sekedar menginginkan sorga Mu, maka jauhkanlah aku darinya. Jika aka menyembahMu karena ke Maha MuliaanMu, maka janganlah Engkau halangi aku untuk selalu melihatMu”.
Puncak perkembangan Tasawuf pada abad ke 5 H adalah pada masa imam Al Ghazali (450 – 505 H) dari Thus Kharasan Iran. Ia tumbuh dan besar dilingkungan keluarga miskin. Dari kehidupan yang serba terbatas, imam Ghazali mendapatkan pendidikan gratis dari beberapa guru. Ia pun melahap berbagai ilmu yang menarik perhatiannya mulai dari Teologi, Hukum Islam, Filsafat, Logika sampai Sufisme atau Tasawuf, sehingga kemudian ia menjadi Filosuf besar, Cendekiawan atau intelektual muslim terkenal dan juga ahli Fiqih Madzhab Syafi’i serta banyak memahami ilmu Tasawuf. Diantara kitabnya dibidang Filsafat ialah: “Maqashidul Falasifah” sedangkan kitab karyanya dibidang Fiqih antara lain “Al Basith”, “Al Wasith” dan di bidang Usul Fiqih: “Al Mushtashfa”.
Imam Al Ghazali kemudian melanglang buana utk kemudian singgah di perkemahan Nidzamul Mulk, Wazir Kesultanan Saljuk. Pada tahun 484 Al Ghazali kemudian diangkat oleh sang Wazir menjadi guru besar Teologi di Perguruan Nidzamiyah Baghdad yang didirikan oleh sang Wazir pada 457-459 H. dan atas prestasinya yang meningkat, Al Ghazali kemudian diangkat menjadi pimpinan Perguruan tsb. Pada waktu itu di usianya yang ke 34, ia telah menjadi cendekiawan Ahlis Sunnah terkemuka pada zamannya.
Tetapi dlm perkembangan selanjutnya, Imam Ghazali mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi Akidah.
Ia merasa tdk puas dengan pendekatan intelektual dan legalistis terhadap agama dan merindukan pengalaman pribadi dengan Tuhan. Maka pada 488 H, ia berhenti mengajar utk kemudian masuk ke dunia sufi. Dia meninggalkan semua jabatan dan dunianya, utk kemudian pergi berkelana keberbagai daerah dan singgah di keberbagai Masjid dan tempat-tempat suci lainnya utk berbkhalawat dan uzlah
Kisah beralihnya Al Ghazali ke jalan Tasawuf ini dipaparkannya dlm kitabnya yang bersifat otobiografis berjudul “Al Munqidz min Ad dhalal” (penyelamat dari kesesatan).
Dlm khalawatnya, pertama kali ia menuju Syam/Suriyah dan menetap disana melakukan riyadhah serta membersihkan hati utk mengingat Allah SWT. Al Ghazali menghabiskan waktunya beri’tikaf dan beribadah di Masjid Damaskus selama dua tahun, kemudian ke Baitul Maqdis, utk kemudian kembali lagi ke Damaskus, dan sewaktu datang musim haji, ia menuju Makkah utk menunaikan ibadah Rukun Islam ke lima. Setelah itu imam Ghazali menuju Madinah dan ke makam Nabi saw lalu ke Baitul Maqdis lagi.
Pada akhirnya, setelah melanglang buana selama 10 tahun, imam Ghazali terlepas dari krisis itu dengan jalan tasawuf dan kemudian kembali lagi ke Damasqus. Dlm pengembaraannya itulah imam Ghazali menulis kibnya “Ihya Ulumiddin” (Menghidupkan ilmu-ilmu Agama) yang kemudian sangat terkenal itu.
Imam Ghazali kemudian kembali ke Naisabur. Disitu ia pun diminta utk mengajar kembali di Perguruan Nidzamiyah. Karena tak bisa menolak, maka ia pun mengajar lagi di Perguruan tsb, tetapi hanya satu tahun, lalu ia kembali ke tempat tinggalnya di Thus utk menekuni ibadah dan disitu ia membangun Surau utk para sufi dan Madrasah utk mengajar.
Sejak waktu itu hingga wafatnya, Al Ghazali menjalani kehidupan sederhana seorang Sufi, diselingi dengan menyusun serangkaian kitab-kitabnya, yang diantaranya ialah “Tahafutul Falasifah” yang menguraikan tentang kesesatan Falsafat, dan kitab “Minhajul Abidin” dlm bidang Tasawuf yang merupakan karya terakhirnya. Selama kurun waktu itu, diungkapkannya berbagai aspek tatanan sufisme, metafisis dan moral yang didalamnya ia berusaha merujukkan Tasawuf dengan ajaran Ahlis Sunnah sambil membuktikan bhw kehidupan seorang muslim dlm pengabdiannya kepada Allah SWT tdk akan tercapai dengan sempurna kecuali bila ia mengikuti jalan para sufi.
Diantara tulisan-tulisan dan karya agung Al Ghazali yang paling berpengaruh sampai sekarang adalah “Ihya Ulumiddin”. Kitab ini disatu sisi, mampu mengungkapkan kaitan antara ilmu-ilmu ke Islaman yang fundamental, yakni ilmu Kalam, ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf, dan di sisi lain, mampu menjernihkan Tasawuf praktis dan spekulatif dari berbagai macam kontaminasi teosofis, sehingga dapat diterima oleh mayoritas umat Islam.
Meski antara Sufisme dan Syari’ah secara sekilas sering terlihat berlawanan, namun keduanya bukan sbg dua dimensi yang bertentangan.
Keduanya justru saling melengkapi satu sama lain. Karena itulah Syekh Abdul Qadir Al Jailani (w. 561 H), seorang sufi yang dianggap oleh kebanyakan kaum muslimin sbg Sulthanul Auliya, tdk pernah mempunyai sikap hidup membenci dunia. Ia hanya menolak utk menikmati keinginan-keinginan dunia yang menimbulkan tenggelamnya hati, sehingga mengakibatkan lupa terhadap Sang Penciptanya.
Al Ghazali sendiri sbg seorang Sufi dlm kitabya Ihya Ulumiddin menjelaskan bhw dikalangan para sufi, ditakutinya harta dunia utk dimiliki manusia itu, bukan karena keadaan harta benda itu sendiri tdk baik , tetapi lantaran karena harta dunia itu mudah membuat manusia lupa pada Allah Sang Penciptanya. Demikian pula kefakiran dianggap baik bukan karena kondisi kefakiran itu sendiri baik, tetapi karena orang yang fakir itu tak mempunya harta yang menjadi penghalang mengingat Tuhan. Tetapi menurut Al Ghazali, harus diakui pula, bhw banyak orang bergelimang harta
yang hartanya tak membuat pemiliknya lupa kepada Tuhannya, seperti Nabi Sulaiman a.s. Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf r.a. Demikian pula sebaliknya, tak kurang banyaknya orang fakir yang dibuat sibuk justru oleh kefakirannya itu, sehingga mereka melupakan Sang Maha penciptanya.
Itulah sebabnya, tak ada kesepakatan dikalangan para ulama sufi, mana yang lebih utama kedudukannya dihadapan Allah SWT antara orang kaya yang mensyukuri kekayaannya dengan senantiasa beramal sedekah dengan hartanya itu dan orang fakir yang senantiasa bersabar atas kefakirannya. Sebagianbpara sufi berpendapat, si orang kaya yang bersyukur itulah yang lebih utama dihadapan Allah. Sedangkan sebagian lain berpendapat sebaliknya.
Dlm kaitannya dengan pemilikan harta, Nabi saw pun banyak menyinggungnya. Dintaranya beliau sabda: “Sebaik-baik harta ialah harta yang halal bagi orang yang shaleh” (HR: Ahmad, Thabrani dll dari Amr bin Al ‘Ash r.a.).
Penulis : KH Busyro Karim, Rois Syuriah PCNU Kabupaten Kediri)
Editor : Imam Mubarok