Oleh : KH Busyrol Karim Abdul Mughni, Rois Syuriyah PCNU Kab Kediri
nukabkediri.or.id – Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia baik Jawa maupun luar Jawa sejak abad 14 silam, semuanya berhaluan Ahli Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang mengikuti Madzhab. Sekitar lima abad kemudian, diawal abad 20, yakni pada awal sbad 20, timbullah pertentangan didalam tubuh umat Islam disebabkan munculnya suatu golongan baru yang menyerang keras orang-orang Islam pengikut Madzhab. Kelompok orang-orang yang pernah belajar di negeri Timur Tengah yang sudah dikuasai oleh modernisme-radikalisme itu, membodoh-bodohkan para ulama dan kaum muslimin Indonesia yang selama ini memegang sistem bermadzhab.
Ditanah air, pada saat meruncingnya pertentangan antara golongan anti madzhab dengan golongan pro madzhab, pada 1925 di wilayah tanah Arab, Syarif Husen, raja tanah Hijaz, penganut ajaran Aswaja baru saja digulingkan oleh Ibnu Saud yang menganut doktrin Wahabi. Pada waktu itu, pemerintah Saudi dibawah raja Ibnu Saud, yang baru saja mengambil alih kekuasaan wilayah tanah Hijaz, hendak mengadakan Muktamar/konggres Islam Dunia pada 1926. Indonesia pun mendapat undangan dari sana. Maka tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam “Komite Khilafah”, Komite yang berdiri sejak 1924 ditanah air yang diketuai wondoamiseno (Syarekat Islam) dengan wakilnya, KH Wahab Hasbullah, membahas delegasi yang akan menghadiri Muktamar di tanah Hijaz itu. Para tokoh dan Kiai Aswaja kemudian mengusulkan kepada Komite Khilafah, agar delegasi dari Indonesia ketika menghadiri undangan tersebut nanti, mendesak kepada Raja Ibnu Saud untuk melindungi kebebasan bermadzhab didaerah Hijaz.Tapi ternyata dalam dua pertemuan anggota Komite, usulan dari para Kiai tersebut tidak dimasukkan dalam catatan usul delegasi ke Konferensi Dunia Islam itu. Kemudian dicoba lagi untuk mendesak mereka agar usulan para Kiai itu dimasukkan sebagai salah satu usulan, tetapi karena yang ada di Komite Khilafah kebanyakan adalah orang-orang yang bukan dari kalangan penganut Aswaja, maka mereka tetap tidak memperhatikan usulan tersebut. Akhirnya KH Wahab dan kawan-kawan nya keluar dari “Komite Khilafah”.
Pada awal tahun 1926, para Kiai kemudian membentuk komite sendiri bernama “Komite Hijaz” yang akan mengirimkan sendiri delegasi ke tanah Hijaz untuk bertemu muka dengan raja Ibnu Saud berkaitan dengan hal tersebut.
Akhirnya Komite Hijaz pun terbentuk dengan komposisi, Penasehat:
KH Wahab Hasbullah, KH Masyhuri dan KH Khalil.
Sedang Ketua: Hasan Gipo dengan Wakil: H Saleh Syamil dan Sekretaris:
Muhamad Shadiq dengan Pembantu: KH Abdul Halim.
Kemudian KH Hasyim Asy’ari menyarankan agar setelah memberi mandat kepada delegasi, Komite Hijaz nanti tidak dibubarkan begitu saja, tetapi diteruskan untuk membentuk Jam’iyah yang mengurusi kepentingan umat Islam.
Maka para Kiai kemudian mengundang para ulama untuk berkumpul di Surabya bertempat di Kampung Kertopaten Surabaya pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926. Adapun yang hadir dalam pertemuan itu adalah KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri, KHR Asnawi ( Kudus), KH Ma’sum (Lasem), KH Ridwan (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Doro Muntoha, menantu KH Khalil Bangkalan (Madura), KH Alwi Abdul Aziz (Surabaya), KH Dahlan Abdul Qadir (Kertosono) dan KH Abdullah Faqih (Gresik).
Perertemuan itu, memutuskan beberapa masalah. Diantaranya meresmikan berdirinya “Komite Hijaz” yang akan mengirimkan delegasi ke Saudi Arabia guna bertemu muka dengan Raja Ibnu Saud untuk memperjuangkan Madzhab empat dengan meminta sang Raja agar ia membebaskan orang-orang Indonesia yang berada disana beribadah menurut ajaran2 Madzhab. Majlis sepakat menunjuk KH Asnawi sebagai delegasi yang akan dikirim ke Mekkah. Dimajlis itu mereka juga membentuk Jam’iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat Islam, sekaligus sebagai Lembaga yang ikut bertanggungjawab mengirim delegasi tersebut. Sidang juga membatasi masa kerja Komite Hijaz hingga pulangnya delegasi dari tugasnya ke Mekkah.
Tentang nama Jam’iyah yang didirikan pada hari itu, ada dua usulan, yaitu ada yang mengajukan nama “Nuhudul Ulama” dan ada yang mengusulkan nama “Nahdlatul Ulama”. Maka nama Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan usulan dari KH Mas Alwi Abdul Aziz inilah yang diterima. Adapun lambang NU dipercayakan kepada KH Ridwan Abdullah, ulama pelukis kenamaan, pendamping utama KH Wahab Hasbullah saat proses berdrinya NU ini.
Sementara itu Komite Hijaz menugasi tiga orang untuk mencari dana buat biaya kepergian delegasi ke Tanah Arab. Tiga orang itu ialah KH Wahab Hasbullah, Hasan Gipo dan Burhan, dengan menyebar list. Setelah beberapa lam dana terkumpul, dihubungilah KH Asnawi di Kudus yang telah ditunjuk menjadi delegasi ke Mekkah itu. Namun setelah KH Asnawi mengurus transportasi, ternyata kapal laut yang akan ditumpangi, baru saja bertolak menuju Mekkah. Akhirnya KH Asnawi batal menghadiri Muktamar Islam di Mekkah. Kemudian dari hasil musyawarah, diputuskan untuk mengirim dulu Telegram ke Mekkah, tetapi tak ada jawaban dari Raja Ibnu Saud.
Berikutnya, NU tetap memutuskan mengirim delegasi untuk menghadap langsung kepada Raja Saud dengan menunjuk KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanim Al Misri yang akan berangkat kesana. Delegasi ini baru bisa berangkat pada Maret 1928. Permintaan NU lewat delegasi tersebut diterima baik oleh Raja Ibnu Saud dan ia menyanggupi akan memberlakukan praktek-praktek keaganaan ditanah Hijaz seperti yang telah berlaku selama ini.
Adapun susunan Pengurus Nahdlatul Ulama yang pertama waktu itu adalah sebagai berikut: SYURIYAH, Rais Akbar: KH Hasyim Asy’ari. Wakil Rais: KH A Dahlan Achyad (Surabaya). Katib: KH Abdul Wahab Hasbullah.
Wakil Katib: KH Abdul Halim (Surabaya)
A’WAN, antara lain: KH. Amin Surabaya, KH. Ridwan Abdullah, KH Nahrawi Thohir Malang dan KH Bisri Syansuri (Jombang)
MUSTASYAR, antara lain: Syekh Ahmad Ghonim Al Amir, Al Misri (orang dari Mesir yang tinggal di Surabaya).
TANFIDZIYAH, antara lain: Ketua: H. Hasan Gipo Surabaya. Sekretaris: Sodiq Sugeng Surabaya. Bendahara:
Ihsan Abdul Fatah Surabaya dan H.Moh. Burhan.
KOMISARIS, antara lain:
H. Soleh Syamil, Dachlan Siraj dan Abdollah Hakim.
Semua pengurus Tanfidziyah pertama, tinggal di Sirabaya.
Periode kepengurusan pada awalnya belum ditentukan berapa tahunan. Pergantian pengurus berdasarkan musyawarah Pengurus Besar.
Pada 21 Oktober 1926 diadakanlah Muktamar NU pertama di Surabaya dan Setelah Muktamar ke 1 ini, secara berangsur-angsur dibentuklah cabang-cabang NU yang dipelopori para ulama diberbagai daerah seperti Jombang, Mojokerto, Nganjuk, Blitar, Gresik, Semarang, Kudus, Rembang, Pekalongan dan lain-lain. Pada 1930, diluar Jawa, Cabang NU pertama didirikan dipulau Kalimatan.
Setelah Muktamar pertama tersebut, dilanjuntukan dengan Muktamar-muktamar berikutnya pada tiap-tiap tahun sampai Muktamar ke 15. Setelah Muktamar ke 15, Muktamar diselenggarakan dalam waktu yang bervariasi, sampai akhirnya diadakan secara rutin pada setiap 5 tahun sekali. Dalam Muktamar ke 12, Matet 1937, NU membentuk konsul-konsul semacam pengurus Wilayah sekarang, tapi tanpa pengurus, hanya seperti Komisaris/Koordinator.
NU didirikan oleh para Kiai pesantren memang bukan dari wawasan kebangsaan, melainkan dari wawasan keagamaan, namun dekian bukan berarti lantas menjadikan organisasi ini mengabaikan soal-soal politik kebangsaan dan kenegaraan. Karena NU juga lahir oleh faktor pergolakan politik bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Pada masa pendudukan kolonial, tidak menyuruntukan tekad para ulama dan santri NU untuk terus menyerukan kemerdekaan. Banyak tokoh-tokoh NU yang masuk ke dalam kelompok barisan perang melawan penjajah yang mereka bentuk, seperti “Sabilillah” dan “Hizbullah”, bahkan banyak putra2 NU terutama dari Ansor (dulu ANO) yang masuk menjadi PETA (Pembela tanah air) pada akhir penjajahan Jepang, seperti Abdul Khaliq Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari, Wahib Wahab, putra KH Wahab Hasbullah dan lain-lain.
Sementara itu, menjelang dan setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, para tokoh NU pun ikut sibuk luar biasa. K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykur misalnya, menjelang Proklamasi kemerdekaan, yakni pada April 1945, ikut diangkat menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menyelenggarakan rapat-rapat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan Jepang kepada Indonesia. Lembaga inilah sebagai cikal bakal terbentuknya negara Indonesia. KH Wahid Hasyim juga ikut duduk dalam “Panitia Sembilan” yang dibentuk pada Juni 1945 bersama Ir Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan beberapa tokoh kemerdekaan lainnya. Panitia 9 inilah yang menghasilkan Rumusan Rancangan Pembukaan Hukum Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. yang biasa disebut “Piagam Jakarta”. Piagam ini sebelumnya terdiri dari 7 kata, yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Persoalan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu menjadi polemik sejak Juni 1945.
Pada 18 Agustus, sehari setelah proklamasi, para tokoh pejuang yang terhimpun dalam lembaga PPKI (Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada awal Agustus dimana KH Wahid Hasyim dan KH Masykur juga ikut masuk sebagai anggota, membahas UUD yang dihasilkan oleh sidang BPUPKI pada Juni 1945 dan juga membahas Piagam Jakarta itu. Karena ketika Panitia 9 dalam suatu rapatnya membahas Piagam Jakarta sebelum Proklamasi kemerdekaan, disitu ada pihak yang mempersoalkan dengan seru tujuh kalimat tersebut.
Dalam sidang PPKI 18 Agustus, sehari setelah Proklsmasi diatas, perdebatan tentang Piagam Jakarta hanya memakan waktu sekitar seperempat jam yang menghasilkan kesepakatan untuk mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dengan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sidang tersebut. KH Wahid Hasyim tidak bersikukuh mempertahankan “Pigam Jakarta”. Kesepakatan
ini mencerminkan jalan tengah antara usulan tokoh Islam dan golongan Nasionalis. Menurut KH Wahid Hasyim, kata ‘ Esa” telah mewakili tauhid bagi umat Islam.
NU sendiri memang tidak bersikukuh agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam dengan mencantumkannya tujuh kata itu, sebagaimana keinginan sebagian kelompok muslim lainnya. NU sebagai penganut Sunny menganggap bahwa hubungan Islam dengan negara bersifat integral. Islam tidak bisa dipisahkan dari negara dan juga sebaliknya, negara tidak dapat dipisahkan dari Islam. Keduanya dapat bekerja sama dan saling menunjang perealisasian kesejahteraan hidup manusia didunia dan akhirat. NU memahami adanya relasi antara agama dan negara, terutana dalam konteks Indonesia yang pluralistik. Bahkan dimasa sebelum Indonesia merdeka,
negara Indonesia yang ketika itu masih disebut Hindia Belanda, menurut NU adalah sudah termasuk “Darul Islam” (Daerah/negara Islam) sebagaimana yang diputuskan dalam Muktamar ke 11, 1936 di Banjarmasin. Keputusan ini memang berkaitan dengan syariat Islam. Hanya saja bukan dalam konteks syariat Islam dan negara, melainkan relasi syariat Islam dan problema sosial.
Kemudian sebulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ketika Belanda datang ketanah air ingin menjajah kembali Indonesia dengan membonceng tentara sekutu, NU mengeluarkan fatwa tentang wajibnya jihad melawan Belanda, dan terjadilah kemudian perang besar-besaran pada 10 Nopember 1945 yang menggerakkan puluhan ribu kaum santri.
Sejak penyerahan kedaulatan dan pusat pemerintah RI kembali ke Jakarta lagi, maka pusat kedudukan NU (kantor PBNU) dipindah ke Jakarta. Ditengah-tengah kondisi negara yang masih berkecamuk peperangan, NU masih sempat menyelenggarakan Muktamar ke 16 pada Maret 1946 di Purwokerto dan Muktamar ke 17 di Madiun 1947.
Demikianlah beberapa bagian dari sejarah berdirinya NU yang begitu gigih dalam memperjuangkan aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja), bangsa dan negara dimasa kemerdekaan yang tak bida dilupakan.
Pada 6 Rajab 1442 H, ormas Islam moderat yang kini sebagai ormas Islam terbesar didunia ini memasuki usianya yang ke 98 tahun atau hampi satu abad. Kini generasi kitalah yang memikul tanggungjawab meneruskan perjuanagan para pendulu kita itu yang tak kalah pula beratnya.
Dahulu ketika NU berdiri diawal abad 20, diantara salah satu motivasinya adalah untuk menghadapi globalisasi radikalis Wahabi yang menguasai negara Arab Saudi dan radikalis penganut Muhamad Abduh dan Jamaludin Al Afgani yang mulai marak ditanah air.
Tetapi pada akhi abad 20, yakni sejak 1980 an, dinegeri kita, gerakan radikalis mulai muncul kembali, bahkan dimasa sekarang ini, jauh lebih kompleks dari sekedar kelompok Wahabi dan Al Afgani, karena kini ditanah air, NU dikepung oleh berbagai kelompok Islam radikalis yang masuk dari kawasan Timur Tengah seperti Salafi, jelmaan dari Wahabi, HTI, JI (Jamaah Islamiyah) dan lain-lain. Namun dalam kehidupan agama, NU tetap istiqamah mengambil jalan tengah dan memegang peran penting dalam menciptakan perdamaian. Organisasi kaum pesantren ini sejak dulu telah memberikan kerja nyata dalam mengawal NKRI yang dianggap telah bernilai Islami dan menjadi organisasi yang moderat dan toleran dengan menerima kebinekaan sebagai suatu kenyataan hidup yang harus diterima dan dipelihara secara bijaksana.
Sekarang ini saat situasi politik dan kebangsaan kita sedang menghangat, NU seakan-akan berdiri seorang diri, seolah sebagai aktor tunggal yang dengan lantang melawan hantaman gelombang dalam mengawal kemajemukan bangsa dan memberi pemcerahan dalam soal keagamaan kepada masyarakat. NU memang harus berdiri mengemudikan bahtera kebangsaan agar tidak oleng dihantam gelombang perpecahan dan adu domba. Tak heran jika lagi-lagi NU dituduh oportunis saat menggaungkan Islam damai, Islam moderat dan Islam yang berwawasan kenusantaraan saat beberapa pihak yang tidak sefaham menghendaki haluan kebangsaan diubah menjadi haluan kelompok keagamaan tertentu. NU mau mengambil posisi pahit ini karena bagi NU, Pancasila sebagai Dasar Negara, sudah final. NU tidak rela bila bangsa Indonesia dipecah belah dan hancur. Bagi organisasi kaum santri ini, Islam tak perlu yang bersifat simbolik, sehingga segala hal harus disulap rupa agar terkesan Islami secara kasat mata. Bagi NU, Islam dan kebangsaan sama sekali tidak ada pertentangan, sehingga Islam harus toleran dan mampu menaungi semuanya. (LDNU)