NUkabkediri.or.id – Pada zaman Nabi, dimasa-masa akhir kenabian, sahabat beliau yang berjumlah ribuan orang, dan sebagian besar tinggal di tempat yang berjauhan dari rumah beliau di Madinah, karena pada masa-masa akhir kenabian itu, Islam sudah meluas sampai ke wilayah yang jauh dari Madinah, sehingga sahabat yang tinggal ditempat yang jauh dari Madinah sudah barang tentu dalam bertemu dengan Nabi tidak sesering para sahabat yang tinggal di Madinah.
Dgn begitu, dalam urusan ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam, ada kalanya sebagian sahabat mendapatkannya dari Nabi saw. secara langsung dan adakalanya yg melalui sahabat lainnya yang pernah mendengarkannya dari dari Nabi secara langsung
Pada waktu Nabi wafat, jumlah para sahabat nabi berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Dari jumlah itu ada sekitar 130 an orang yang alim dari kalangan lelaki maupun wanita yang mampu memberi fatwa kepada sahabat2 lainnya ttg permasalahan hukum Islam. Diantara para sahabat itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Usman, Ali, Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan lain- lainnya
Sementara itu dikalangan para sahabat, tidak jarang masing-masing dari mereka saling mencari informasi kpd temannya tentang hadis yg mengkin si teman itu pernah mendengarnya dari Nabi ketika masih hidup yang ia tidam pernah mendengarnya.
Dlm hadis riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan lain-lainnya diceritakan bhw ketika sahabat Jabir bin Abdillah r.a. mendengar ada sebuah hadis yang mengisahkan tentang kondisi manusia saat hari kiamat, ia pun berniat untuk mendengar hadis tersebut secara langsung dan lengkap dari sumber yang mendengarnya secara langsung dari Nabi saw, yaitu Abdullah bin Unais r.a. yg bertempat tinggal di negeri Mesir, sebagian riwayat negeri Syam (kini bernama Suriyah)
Maka Jabir yg tinggal di Madinah pun membeli seekor unta yang akan ia gunakan sebagai alat transportasi kerumah Abdullah si pendengar hadis tersebut. Jabir tentunya telah bertekat melakukan perjalanan panjang karena jarak dari Madinah ke Syam jika ditempuh dengan naik unta, bisa makan waktu satu bulan. Dan akhirnya, setelah terlaksana bertemu dengan Abdullah Jabir pun bisa berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya itu dari Abdullah bin Unais.
Selanjutnya pada masa perkembangan peradaban Islam sejak akhir abad pertama sampai sekitar abad ke 9 – 10 H, kaum muslimin dimasa itu tak kalah pula dengan para ulama sahabat pendahulu mereka. Umat Islam dimasa itu amat termotivasi untuk senantiasa menuntut ilmu agama, apapun beban kesibukan ataupun kendala yang mereka alami, sehingga pada masa itu agama Islam mengalami kemajuan luar biasa dlm bidang keilmuan, baik ilmu pengetahuan umum utknukuranbmasa itu, terlebih lagi ilmu agama Islam
Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari (w. 256 H) misalnya, ia mengembara memburu ilmu hadis sejak usia 16 tahun, keluar masuk berbagai negara menyusuri berpuluh-puluh kota keluar masuk perkampungan demi belajar sekaligus menghimpun hadis-hadis Nabi dgn menghafalkan para perawinyanya. Dalam pengembaraannya itu, ia menemui tidak kurang dari 1000 para perawi hadis yang dalam waktu 16 tahun ia berhasil mengumpulkan sekitar 600 ribu hadis baik yang shahih maupun yang tdk sahih dan diantaranya sekitar tujuh ribu hadis yang shahih dihimpun tersendiri dalam kibnya “Al Jami’us Shahih” atau Shahih Al Bukhari yang ternyata kemudian kitabnya tersebut oleh para ulama sesudahnya dinilai sebagai kitab kumpulan hadis yang paling shahih dari kitab-kitab himpunan hadis-hadis yang lainnya baik baik yang dihimpun hampir semasa dengan Jami’us Shahih maupu sesudahnya.
Para masa perkbangan peradaban Islam itu, pemburu ilmu yang mencari dan memperdalam ilmu agama Islam
bukan hanya dari mereka yg masih muda yg belum memiliki kesibukan urusan keluarga ataupun orang yg memiliki banyak waktu luang saja, tetapi, para penuntut ilmu itu dan juga para pengajarnya, banyak pula dari orang- orang yang sehari-harinya memiliki kesibukan menggeluti profesi maupun mata pencaharian yg menjadi sumber nafkah bagi keluarga mereka. Kesibukan menjalankan profesi maupun pekerjaan mata pencaharian sehari-hari bukanlah penghalang bagi mereka dalam menuntut, memperdalam maupun mengajarkan ilmu-ilmu agama. Maka proses belajar, memperdalam dan mengajarkan ilmu ilmu agama pun tdk hanya dilakukan di masjid-masjid atau Madrasah. Mereka melakukan itu juga diberbagai tempat, seperti di pasar, toko, bahkan di perkebunan. Mereka yg tekun belajar ilmu agama Islam itu ada penya profesi sebagai tukang kayu, penjahit, pedagang ikan dan berbagai pekerjaan lainnya yang seolah-olah jauh dari aktivitas keilmuan agama. Padahal mereka kemudian dikenal sebagai ulama dengan profesinya yg tetap seperti itu.
Pada masa itu memang secara umum banyak dikalangan ulama yang memperdalam ilmu maupun mengajarkannya dalam kedaan sehari-harinya tetap menggeluti muamalah atau mata pencaharian yang biasa mereka kerjakan baik itu perdagangan maupun lainnya, sehingga tidak jarang ditempat-tempat transaksi dan tempat bekerja itu berlangsung pula kegiatan ilmu.
Ulama besar seperti Waki’ bin Al Jarah Al Kufi (w. 196 H) misalnya, seorang ahli hadis Iraq yang pernah menjadi salah seorang guru imam Syafi’i itu pada siang hari rela berpanas-panas mengajarkan Hadis kepada para pekerja penyiram tanaman, lantaran karena mereka itu adalah orang-orang yg memiliki mata pencaharian yang menyebabkan mereka tidak bisa datang kepadanya pada waktu-waktu pengajiannya. Itu sebabnya, Waki’ mengalah mengajari ilmu dengan mendatangi mereka.
Ada pula ulama Hadis yang meriwayatkan hadisnnya di pasar. Misalnya hadis tentang keutamaan Ummahatul Mukminin yang diriwayatkan di toko Ali bin Al Hasan Ar Razzaz.
Ilmu fiqih juga sering diajarkan ditempat transaksi jual beli. Hal ini misalnya dilakukan oleh seorang ahli figih Muhammad bin Ali (w. 555 H) yang berprofesi sebagai penjual parfum dan obat-obatan. Banyak penuntut ilmu yang datang ke tokonya untuk menimba ilmu fiqih.
Itulah sebabnya tak sedikit ulama yang dibelakang namanya ditamcahkan nama-nama profesi mereka, seperti Abu Ali Al Hasan bin Al Husain An Ni’ali (Tukang sandal) Al Baghdadi (w. 431 H). Kata “An Ni’al” disertakan di belakang namanya karena berhubungan dengan profesinya sebagai pembuat maupun penjual sandal. Ada pula ulama yang berprofesi sebagai penjual sepatu yang dalam bahasa Arabnya ‘Al Hidza”, maka dibelakangnya kemudian ditamnahkan kalimat “Al Hidzdza”, seperti
Katsir bin Ubaid Al Himshi Al Hadzdza (w. 247 H) meskipun ada pula yang disebut Al Hidzdza lantaran karena ia tinggal diatas toko sepatu yaitu Khalid bin Mihrab Al Hadzdza.
Ada pula diantara para ulama yang dinisbatkan kepada “An Najjar” (tukang kayu,) karena berprofesi sebagai tukang kayu yang diantara mereka adalah seorang ahli hadis, Abu Bakar Muhammad bin Ja’far An Najjar (w. 379 H), dan masih banyak lagi para ulama yang disebut dengan berbagai nisbat lainnya yg sesuai dengan profesi mereka masing-masing seperti Abul Qasim Isa bin Ibrahim Ad Daqqaaq (tukang tepung) karena ia berprofesi sebagai penjual tepung, Bisyar bin Muhammad As Sukkari (tukang gula) lantaran karena ia sebagai penjual gula yang meriwayatkan hadis dari Ibnul Mubarak serta Abu Hammad Sa’id bin Rasyid As Sammak (tukang ikan) karena ia penjual ikan dari Bashra
Begitu tekunnya kaum muslimin dalam memburu ilmu agama dimasa itu meski sehari-hari disibukkan oleh profesi mereka sehari-hari demi menafkahi keluarga, sehingga tak heran jika pada masa itu ilmu agama mengalami kemajuan yang luar biasa. Para tokoh besar berbagai bidang ilmu agama Islam yang menjadi panutan umat Islam sampai pada masa sekarang, itu lahir dimasa-masa tersebut.
Didalam bidang Teologi misalnya terdapat nama-nama besar yg menjadi panutan umat Islam sampai sekarang aperti Abul Hasan Al Asy’ari, (w. 324 H) dan Abu Manshur Al Maturidi (w. 333 H). Dalam bidang ilmu fiqih sampai melahirkan banyak ulama Mujtahid Muthlaq atau Mujtahid secara mandiri dari kalangan Ahlis Sunnah yang masing-masing mempunyai Madzhab
dengan jumlahnya sampai mencapai belasan orang Mujtahi, termasuk imam-imam madzhab empat yg terkenal itu. Diantara mereka yang selain imam-imam Madzhab empat itu adalah imam Abdur Rahman bin Muhammad Al Auza’i (w. 157 H), pendiri Madzhab Al Auza’i, Imam Sufyan At Tsauri (w. 161 H), pendiri Madzab Ats Tsauri, imam Al Laits bin Sa’ad Al Fahmi (w. 175 H), pendiri Madzhab Al Laits dll.
Madzhab mereka yang selain Madzhab empat itu pun masing-masing juga dinilai sebagai madzhab muktabar yang dulu mempunyai banyak pengikut. Namun karena murid-murid mereka itu tidak ada yang terus menekuni, memelihara dan menulis madzhab-mereka, maka madzhab mereka kini lenyap dan sebagian dari pendapat-pendapat mereka, kini hanya dituturkan lewat mulut ke mulut atau kutipan di berbagai kitab yang tanpa ada catatan dari kitab asli dari madzhab mereka, sehingga kini sudah tak bisa di buat panutan lagi karena pendapat-pendapat yang dikatakan kutip seperti itu, tidak bisa dijamin keautentikannya bersal dari para pendiri madzhab yang bersangkutan. (***)
Penulis : KH Bushro Karim Abd Mughni